Langsung ke konten utama

Sebelum Mentari



ketika dingin menghembuskan raganya ke jendela, itu tanda aku merindukanmu
ketika angin menjatuhkan diri di atap rumah, aku memanggilmu karna rindu


merpati menyambangi jendelaku hari Minggu, menunggu kawannya
empat merpati berjalan jalan kecil di samping meja kerja
kaki mereka membawa pita merah, "pesankan dia bandrek, aku ga mau dia kedinginan"
"kepakkan sayapmu, itu perintah atas rindu yang jarang bertemu"
mereka lalu pergi ke arah barat
bukankah kamu juga sedang di laut barat?

aku menyelesaikan riasan tembok, sebentar lagi musim peri
datangnya deras setiap hari
peri-ngatan bayar tagihan maksudnya
selesai sebelum ibu membanting pintu
"kalau dahan pohon samping ruang tvmu menari malu, aku juga menahan rindu"

aliran selokan sedang cerah
ada kucing kencing di samping parit
belanjaanku menumpuk, 3 bulan tidak ke pasar
penjual sembako "Toha" telah digantikan menantunya, pa Toha ada di ICU, harga berasnya juga jadi ICU
aku merebahkan diri di tenda bakso "Sugih", semoga pelangganmu banyak mas, istrimu akan melahirkan anak kedua kan?
"apa kau menikmati makananmu? lain kali makan bersamaku di tepi Stadion"

hujan adalah suasana klimaks saat kepala divisi menghadiahi pekerjaan tambahan
pulang membawa tengtengan kertas
aku harap, aku lekas malas
tapi lusa batas deadline berkas
nafas, aku ingin memakimu keras-keras
"kenapa tidak kau tumpahkan saja kopimu? Kau kan lelah. Percaya, kali ini aku ingin hidup bersamamu"

pria yang yang hanya mampu mengirim pesan
kau pamit "untuk bermimpi" selama ini
pergi ke laut barat lalu aku sendirian yang menanggung berat
hanya berpesan pada alam sebagai simbol kau masih ada
tapi ku rasa kau hanya bersembunyi
aku lupa namamu
tak ada namamu dalam kontak whatsapku
karna kau pergi juga tanpa bertemu
rindu itu pura pura, membuat ragu bahwa sebenarnya cinta
aku tidak rindu, kembalikan saja aku pada mood asliku
"aku akan datang hari Minggu"
Minggu itu merah, aku tak pernah suka semenjak kau pergi di hari Minggu
"aku mau kamu menunggu"
apa kembalimu akan secepat shinkansen? Kalau tidak, tua saja kau di laut barat
"................, iyaa, aku bajingan keparat"
"aku malu telah berjanji"

datanglah sebelum pagi, aku akan mampu melihatmu sebelum ada mentari
"aku mencintaimu"
to.

MS
Minggu, 11 Februari 2018
Saung Ambu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Mulut

Menutup mulut, Hatiku ribut Tahu semua yang tertutup Menutup mulut. Hatiku ribut. Sibuk menurunkan kabut. Sabuk paksa terbentang. Ambil posisi aman menantang. Ada nama gadis. Sumpah, jangan sodorkan! Bakal jadi bengis. Nafas jadi berantakan. Anggap aku tak berusaha. Dadaku lapang mengudara. Jadikan rinduku tak berbahasa. Lelaki sepertimu alpa luas samudra. Pujangga, Mampu buat hawa jatuh terpesona. Dalam hati menuntut jujur. Menutup mulut. Hatiku ribut -ilmiyah, 2016

20 Tahun

20 tahun Aku takut kematian Aku takut melihat ibuku berbaju kafan Aku takut bapaku tiada, ibuku sama siapa Aku takut sendirian, ditinggal Imut ke surga 20 tahun Aku takut tidak bisa menghidupi mimpi sendiri Aku takut tidak bisa berbakti Aku takut menjadi abu Aku takut menjadi bukan diriku 20 tahun Aku takut lupa agama Lupa Tuhanku siapa Aku takut lupa bersyukur Padahal Allah sudah begitu adil dan akur 20 tahun Aku takut membuat keluarga kecewa Tidak bisa menghadirkan bahagia Lupa pengorbanan mereka Tidak bisa berbakti pada mereka 20 tahun Aku takut gila Problema mendera menggelantungi nyawa 20 tahun Aku banyak merindui seseorang bukan manusia 20 tahun Menginjakmu, nafasku berat. Il-miyah

Meski

Mendoakanmu, meski kau tidak tau diriku Aku tidak bisa nyekar, makan lebih penting Ibuku yang sangat baik hati, mengulang nasihat itu Mengingatmu Ternyata hanya segitu, kalimat yang mendadak muncul saat taraweh. Sudah ya, tidur dulu